Rabu, 24 Juni 2015
Dilema dokter tanpa SIP. Ngangur berbulan-bulan atau jaga klinik?
Ceritanya, aku sudah selesai koas tapi, belum jadi dokter (doakan tanggal 30 nanti sudah resmi ya). Sistem kedokteran sekarang ini sedikit bertele-tele dan melelahkan untuk calon dokter. Mungkin karena sistem kuliahnya sudah jadi Blok / PBL yang membuat kuliah yang dulunya 6 tahun (4 tahun sarjana dan 2 tahun koas/praktik klinik) menjadi 5 tahun saja, kita diharuskan untuk mengikuti magang/internship lebih dulu. Lha... dikarenakan entah suatu hal apa kita para calon dokter ini harus menunggu setidaknya 6 bulan sampai setahuuuun untuk bisa akhirnya mengikuti internship. Pertanyaannya, Apa yang harus dilakukan selama itu?
Banyak teman-teman atau kakak kelas yang memilih untuk bekerja di klinik. Klinik yang menerima dokter tanpa STR/SIP. Banyak yang berpikir kalau memang kliniknya yang mengijinkan berarti itu adalah tindakan yang legal atau dibenarkan. 'Orang saya bekerja juga karena diterima' kata mereka. 'Nanti kalau ada apa-apa juga yang kena kliniknya'. 'Nanti juga ditanggung sama dokter yang menerima saya bekerja' Dan berbagai dalih lainnya. Itu kalau dalam hal melanggar hukum.
Lalu, untuk masalah tentang kompentesi, apakah mereka sudah yakin kalau bisa mengobati setiap pasien yang datang, sedangkan mereka belum diberikan surat ijin? Mereka banyak mengatakan kalau klinik tempat
prakteknya, pasiennya paling cuma satu dua dan itu juga batuk pilek, 'Bisalah kalau cuma ngasih obat orang sakit kepala dan flu'
Dia
Pacar sahabatmu adalah idolaku
Sahabatmu kuanggap sahabatku
Dia adalah sahabatmu
Hidup kita sebelumnya seperti tidak ada ikatan apapun tapi, sebenarnya sudah terhubung
Hanya saja kita tidak tahu.
Selasa, 16 Juni 2015
Aku
Sudah lelah.
Terserah saja.
Aku tidak mau memikirkan siapapun untuk saat ini.
Kamis, 11 Juni 2015
Hanya diam
Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan padamu.
Pertanyaan sederhana yang mungkin orang lain sudah tanyakan atau malah sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka.
'Apa kamu sudah membaca novel sabtu bersama bapak-nya Adithya Mulya?'
'Apa kamu punya doctor-nya Erich Segal?'
'Kamu lebih suka, buku terjemahan atau karya penulis Indonesia?'
Itu baru pertanyaan di hari ini. Besok aku pasti punya pertanyaan yang lain. Tapi, aku cuma diam. Menyimpannya dalam hati.
karena,
Yang kubisa memang hanya diam.
Jalan
Beban semakin bertambah.
Saatnya untuk memikirkan sesuatu yang lebih penting daripada hanya belajar dan ujian.
Masa depan terbentang di depan sana
Tinggal kita pilih ingin melalui jalur yang mana dan untuk menuju tujuan yang mana.
Diibaratkan saat masih sekolah kita itu belajar menyetir dengan didampingi pelatih yang mengatakan 'rem pelan, rating kiri, berhenti sebentar... yuk jalan lagi' dan kemudian 'kita di belakangnya aja. Kalau kanan jalan sepi nanti ambil kanan terus salip'. Ya, kita tidak usah berpikir kapan harus mengerem, kapan harus berjalan pelan dan kapan mendahului. Bahkan kadang kita ditunjukan jalan yang benar dan mudah untuk menuju tujuan yang kita inginkan.
Lha setelah selesai sekolah, dituntut untuk menyetir sendiri. Mencari jalan sendiri. Berpikir kapan kita harus berjalan pelan, belok kanan kiri, mengerem, dan mendahului agar bisa sampai tujuan dengan selamat. Harus menghadapi segala macam sendirian. Kadang menghadapi ibu-ibu pengendara motor yang katanya penguasa jalanan, tukang becak yang jalannya pelan, motor ugal-ugalan, ban kempes, bensin habis, polisi lalu lintas dan segala macam hal lainnya.
Ah, betapa enaknya masa muda.
Dan melepaskannya begitu berat.
Tapi, mau sampai kapan kita bersama pelatih. Kita juga harus bisa menentukan arah kemudi sesuka kita. Kita bisa memilih untuk berkendara pelan atau kencang. Menjadi ugal-ugalan atau keep calm. Kita yang memilih sesuka hati.
Berdoa saja agar semua lancar,aman, tanpa hambatan.