Teknologi iptek yang berkembang pada
dewasa ini adalah teknologi reproduksi yaitu inseminasi buatan atau sering
dikenal bayi tabung. Program
bayi tabung sendiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh dokter asal Inggris,
Patrick
C. Steptoe dan Robert G. Edwards pada
sekitar tahun 1970-an dan melahirkan bayi tabung pertama di dunia, Louise
Brown pada tahun 1978. Pada awalnya,
teknologi ini ditentang oleh kalangan kedokteran dan agama karena kedua dokter
itu dianggap mengambil alih peran Tuhan dalam menciptakan manusia (playing
God). Pada mulanya program ini bertujuan untuk menolong pasangan
suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan
tuba falopi istrinya mengalami kerusakan permanen. Namun, kemudian mulai ada
perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pada yang memiliki penyakit
atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh
keturunan. Sekarang
teknologi ini telah menjadi salah satu sarana untuk memperoleh keturunan
bagi pasangan suami istri yang mengalami kesulitan untuk memperoleh keturunan
baik karena tidak subur, kemandulan, maupun yang lainnya. Meskipun begitu penerapan
bioteknologi masih dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum alam dan sulit
untuk diterima masyarakat, masih terdapat pertetangan pada berbagai aspek
kehidupan seperti etika dan moral, lingkungan hidup, sosial dan ekonomi serta
kesehatan. Selain
itu, ada juga beberapa dampak negatif yang di timbulkan akibat inseminasi
buatan yaitu, meningkatkan resiko dan potensi terjadinya Ovarian Hyper
Stimulation Syndrome atau OHSS pada wanita yang disebabkan oleh obat yang
dikonsumsi selama proses stimulasi ovarium. Sedangkan, pada bayi tabung
terdapat kadar yang berbeda dan bagi wanita muda berumur dua puluh tahun (20
tahun) yang dilahirkan dengan proses bayi tabung, kadar darah embrionya adalah
76 %, ini merupakan nilai yang lemah karena saat proses pembuahan, ia berada di
luar rahim selama satu jam atau kurang.
Pelaksanaan
bayi tabung tersebut diatur dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 61 tahun
2014 tentang kesehatan reproduksi. Dalam
kedua peraturan tersebut pelaksanaan bayi tabung yang diperbolehkan hanya
kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel
telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim istri
yang sah. Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak
sah dari pasangan suami isteri tersebut. Jika benih yang datang berasal langsung dari pasangan suami
istri, maka akan dilakukan proses fertilisasi vitro transfer embrio dan
kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri dan anak tersebut akan secara
biologis atau juga secara yuridis mempunyai status yang sah dari pasangan ini.
Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral
bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan
pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan
tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang
timbul antara lain adalah :
1.
Bagaimanakah
status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan?
2.
Bagaimanakah
hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia
mempunyai hak mewaris?
3.
Bagaimanakah
hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi
penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak
mewaris?
Pengakuan hak-hak manusia telah diatur di dunia
international, salah satunya tentang hak reproduksi. Dalam kasus ini, meskipun keputusan
inseminasi buatan dengan donor sperma dari laki-laki yang bukan suami wanita
tersebut adalah hak dari pasangan suami istri tersebut, namun harus
dipertimbangkan secara hukum, baik hukum perdata, hukum pidana, hukum agama,
hukum kesehatan serta etika (moral) ketimuran yang berlaku di Indonesia. Penetapan seorang anak sebagai anak sah adalah berdasar pada pasal 42
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk membuktikan secara
hukum bahwa seorang anak adalah anak sah dari pasangan suami istri, yang
dibutuhkan adalah sebuah akta kelahiran dari anak tersebut. Karena
anak hasil bayi tabung merupakan anak sah, maka hak dan kewajiban dari anak
yang dilahirkan dengan menggunakan program bayi tabung sama dengan anak yang
tidak menggunakan program bayi tabung. Sehingga anak hasil bayi tabung dalam
hukum waris termasuk kedalam ahli waris golongan I yang diatur dalam pasal 852
KUH Perdata.Sementara
untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam
rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi
yang setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu
karena si bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi, sebagian yang menentang
mengatakan bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam
rahim yang bukan muhrimnya. Tetapi sebenarnya UU Kesehatan no. 36 tahun 2009,
pasal 127 ditegaskan bahwa Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan
sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, tetapi
upaya kehamilan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang
sah yaitu: hasil pembuahan sperma dan ovum harus berasal dari pasangan suami
istri tersebut, untuk kemudian ditanamkan dalam rahim si istri.
Di Indonesia, terdapat beberapa
tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung). Jika ketika embrio diimplantasikan
ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika
anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah
dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak
itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan
apapun dengan bekas suami ibunya, dasar hukum pasal 255 KUHPer. Jika embrio diimplantasikan
ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu
adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih,
dasar hukum pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 250 KUHPer. Dalam hal ini
Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya
melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan
perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai
sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUHPer). Jika Suami
mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer
embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi
dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan
diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak
sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si
Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA, dasar
hukum ps. 250 KUHPer. Jika embrio
diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang
dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum
pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUHPer. Jika sel sperma maupun sel
telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan
maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri
tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan
yang sah.
Dari Islam sendiri pun mempunyai
pandangan mengenai hal ini. Islam hanya memperbolehkan bayi tabung dalam
ketentuan sperma berasal dari suami, ovum berasal dari istri dan kemudian ditanamkan di rahim istri. Sedangkan
jika sperma berasal dari pendonor ataupun sperma berasal dari suami tetapi
ditanamkan di rahim orang lain itu haram hukumnya dalam islam. Karena hal itu jelas menimbulkan kekacauan dalam masalah nashab, dan sebagaimana sabda
Nabi SAW hukumnya bila janin itu yang dititipkan pada wanita lain yang bukan
istrinya, maka haram hukumnya. “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada
Allah dan akhirat menyirami airnya ke ladang orang lain” (HR. Ab Daud dari Ruwaifi’
ibnu tsabit Al- Anshori).
Sedangkan, dari sudut
pandang sosial, ini akan berdampak pada sang anak. Posisi anak akan menjadi
tidak jelas di mata masyarakat. Jika anak yang dihasilkan dari sperma donor
atau bank sperma maka status anak menjadi tidak jelas karena bukan berasal dari
sperma ayah kandungnya. Selain itu akan ada pandangan negatif dari masyarakat
terhadap si wanita, karena akan dianggap mempunyai anak tanpa suami atau punya
anak diluar nikah. Si anak pun akan dipandang menjadi seseorang yang berbeda
dan dikecilkan oleh masyarakat.
Dari sisi etik, komisi Etik dari berbagai Negara memberi
pandangan dan pegangan terhadap hak reproduksi dan etika dalam ranah reproduksi
manusia dengan memperhatikan beberapa asas yaitu:
§ Niat untuk berbuat baik.
§ Bukan untuk kejahatan.
§ Menghargai kebebasan individu untuk mengatasi takdir.
§ Tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar