Kamis, 19 Januari 2017

Tinjauan Bioetik Bayi Tabung



Teknologi iptek yang berkembang pada dewasa ini adalah teknologi reproduksi yaitu inseminasi buatan atau sering dikenal bayi tabung. Program bayi tabung sendiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh dokter asal Inggris,  Patrick C. Steptoe dan Robert G. Edwards pada sekitar tahun 1970-an dan melahirkan  bayi tabung pertama di dunia, Louise Brown pada tahun 1978.  Pada awalnya, teknologi ini ditentang oleh kalangan kedokteran dan agama karena kedua dokter itu dianggap mengambil alih peran Tuhan dalam menciptakan manusia (playing God).  Pada mulanya program ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopi istrinya mengalami kerusakan permanen. Namun, kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pada yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan. Sekarang teknologi ini telah menjadi salah satu sarana untuk memperoleh keturunan bagi pasangan suami istri yang mengalami kesulitan untuk memperoleh keturunan baik karena tidak subur, kemandulan, maupun yang lainnya. Meskipun begitu penerapan bioteknologi masih dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum alam dan sulit untuk diterima masyarakat, masih terdapat pertetangan pada berbagai aspek kehidupan seperti etika dan moral, lingkungan hidup, sosial dan ekonomi serta kesehatan. Selain itu, ada juga beberapa dampak negatif yang di timbulkan akibat inseminasi buatan yaitu, meningkatkan resiko dan potensi terjadinya Ovarian Hyper Stimulation Syndrome atau OHSS pada wanita yang disebabkan oleh obat yang dikonsumsi selama proses stimulasi ovarium. Sedangkan, pada bayi tabung terdapat kadar yang berbeda dan bagi wanita muda berumur dua puluh tahun (20 tahun) yang dilahirkan dengan proses bayi tabung, kadar darah embrionya adalah 76 %, ini merupakan nilai yang lemah karena saat proses pembuahan, ia berada di luar rahim selama satu jam atau kurang.

Pelaksanaan bayi tabung tersebut diatur dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 61 tahun 2014 tentang  kesehatan reproduksi. Dalam kedua peraturan tersebut pelaksanaan bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim istri yang sah. Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut. Jika benih yang datang berasal langsung dari pasangan suami istri, maka akan dilakukan proses fertilisasi vitro transfer embrio dan kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri dan anak tersebut akan secara biologis atau juga secara yuridis mempunyai status yang sah dari pasangan ini.
Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang timbul antara lain adalah :
1.             Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan?
2.             Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3.             Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?

Pengakuan hak-hak manusia telah diatur di dunia international, salah satunya tentang hak reproduksi.  Dalam kasus ini, meskipun keputusan inseminasi buatan dengan donor sperma dari laki-laki yang bukan suami wanita tersebut adalah hak dari pasangan suami istri tersebut, namun harus dipertimbangkan secara hukum, baik hukum perdata, hukum pidana, hukum agama, hukum kesehatan serta etika (moral) ketimuran yang berlaku di Indonesia. Penetapan seorang anak sebagai anak sah adalah berdasar pada pasal 42 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk membuktikan secara hukum bahwa seorang anak adalah anak sah dari pasangan suami istri, yang dibutuhkan adalah sebuah akta kelahiran dari anak tersebut.  Karena anak hasil bayi tabung merupakan anak sah, maka hak dan kewajiban dari anak yang dilahirkan dengan menggunakan program bayi tabung sama dengan anak yang tidak menggunakan program bayi tabung. Sehingga anak hasil bayi tabung dalam hukum waris termasuk kedalam ahli waris golongan I yang diatur dalam pasal 852 KUH Perdata.Sementara untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi, sebagian yang menentang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang bukan muhrimnya. Tetapi sebenarnya UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 ditegaskan bahwa Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, tetapi upaya kehamilan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah yaitu: hasil pembuahan sperma dan ovum harus berasal dari pasangan suami istri tersebut, untuk kemudian ditanamkan dalam rahim si istri.
Di Indonesia, terdapat beberapa tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung). Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya, dasar hukum pasal 255 KUHPer. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih, dasar hukum pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUHPer). Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA, dasar hukum ps. 250 KUHPer.  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUHPer. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
Dari Islam sendiri pun mempunyai pandangan mengenai hal ini. Islam hanya memperbolehkan bayi tabung dalam ketentuan sperma berasal dari suami, ovum berasal dari istri dan  kemudian ditanamkan di rahim istri. Sedangkan jika sperma berasal dari pendonor ataupun sperma berasal dari suami tetapi ditanamkan di rahim orang lain itu haram hukumnya dalam islam. Karena hal itu jelas menimbulkan kekacauan dalam masalah nashab, dan sebagaimana sabda Nabi SAW hukumnya bila janin itu yang dititipkan pada wanita lain yang bukan istrinya, maka haram hukumnya. “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan akhirat menyirami airnya ke ladang orang lain” (HR. Ab Daud dari Ruwaifi’  ibnu tsabit Al- Anshori).
Sedangkan, dari sudut pandang sosial, ini akan berdampak pada sang anak. Posisi anak akan menjadi tidak jelas di mata masyarakat. Jika anak yang dihasilkan dari sperma donor atau bank sperma maka status anak menjadi tidak jelas karena bukan berasal dari sperma ayah kandungnya. Selain itu akan ada pandangan negatif dari masyarakat terhadap si wanita, karena akan dianggap mempunyai anak tanpa suami atau punya anak diluar nikah. Si anak pun akan dipandang menjadi seseorang yang berbeda dan dikecilkan oleh masyarakat.
Dari sisi etik, komisi Etik dari berbagai Negara memberi pandangan dan pegangan terhadap hak reproduksi dan etika dalam ranah reproduksi manusia dengan memperhatikan beberapa asas yaitu:
§ Niat untuk berbuat baik.
§ Bukan untuk kejahatan.
§ Menghargai kebebasan individu untuk mengatasi takdir.
§ Tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

I Me My Mine Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei